ORANG BIJAK KENALI PAJAK
Pajak merupakan salah satu instrumen yang paling penting dalam anggaran suatu negara. Terlihat dari kebijakan fiskal saat ini dan masa mendatang terletak pada upaya peningkatan penerimaan pemerintah khususnya melalui sektor perpajakan. Sejak tahun 1983, pemerintah telah mengembangkan sumber pembiayaan yang berasal dari pajak melalui undang-undang perpajakan. Dengan adanya undang-undang ini dapat menambahkan penerimaan negara yang berasal dari pajak. Pajak menduduki posisi sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Sedangkan dari beberapa sektor yang dikenakan pajak, sektro Pajak Penghasilan mempunyai kontribusi paling tinggi.
Pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak.
a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
BAB 1. Pengertian dan Tujuan Hukum
Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih.
Pengertian Hukum Pajak Penghasilan
PPh (Pajak Penghasilan) adalah pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Hukum Menurut Pendapat Para Sarjana
Pengertian Hukum Menurut Padangan Para Ahli Hukum ialah sebagai berikut:
- Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja: Hukum adalah keseluruhan kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat.
- Soerso: Hukum adalah sebuah himpunan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan yang sifatnya memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.
- Tullius Cicerco: Hukum ialah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam pada diri setiap manusia untuk menetapkan segala sesuatu yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Berdasarkan pengertian hukum menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa, pengertian hukum itu sendiri adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia untuk menjaga ketertiban, keadilan dan mencegah terjadinya kekacauan.
Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Para Ahli
Menurut Siti Resmi (2009:88), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atau penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.
Dapat disimpulkan bahwa Pajak penghasilan adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak dalam negeri atau luar negeri yang dapat dipakai konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan bentuk apapun dengan merujuk pada Undang-undang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008. Dalam pasal 4 ayat satu Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 disebutkan Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Sedangkan, Pengertian Pajak Penghasilan pasal 21, menurut Siti Resmi (2009:167), Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan karyawan yang jumlah pajaknya langsung dipotong oleh pemberi kerja. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 31/PJ/2009, pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
Definisi Hukum Sebagai Pegangan
Drs. E. Utrecht, SH dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” (1953) telah mencoba mmbuat suatu batasan yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari Ilmu Hukum.
Hanya diingatkan, bahwa definisi yang diberikan Drs. E. Utrecht, SH ini merupakan pegangan semata yang maksudnya menjadi satu pedoman bagi setiap wisatawan hukum yang sedang bertamasya di alam hukum.
Utrecht memberikan batasan hukum sebagai berikut: “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah – perintah dan larangan – larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.
Selain Utrecht juga beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha merumuskan tentang apakah Hukum itu, yang diantaranya ialah:
a. S.M Amin, SH
Hukum adalah kumpulan – kumpulan peraturan – peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan keteriban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
b. J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H
Hukum adalah sebuah Peraturan – peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh Badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
c. M.H. Tirtamidjaya, S.H
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituntut dalam tingkah laku tindakan – tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan – aturan itu, akan membahayakn diri sendiri atau harta, umpamanya orang yang akan kehilangan kemerdekaan, didenda dan sebagainya.
Unsur – Unsur Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa Hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
- Peraturan tentang tingkah laku atau perilaku manusia dalam pergaulan masyarakat
- Peraturan itu diadakan oleh setiap badan – badan resmi yang berwajib.
- Peraturan itu memiliki sifat memaksa
- Sanksi terhadap pelanggaran tersebut ialah tegas
Berdasarkan unsur – unsur hukum dan berkenaan dengan beberapa perumusan tentang hukum dari para sarjana diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pajak Penghasilan memiliki peraturan yang memang memiliki sifat yang memaksa guna mempelancar pembayaran Pajak Penghasilan jika tidak memiliki sifat memaksa maka sedikit masyarakat yang memiliki kesadaran sendiri untuk membayar pajak, itu pun karena adanya sanksi yang diberikan.
Ciri – ciri Hukum
Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus mengenal ciri – ciri hukum yaitu:
- Adanya perintah dan larangan
- Perintah dan atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang. Sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik – baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai peraturan – peraturan hidup kemasyarakatan yang di namakan kaidah hukum.
Sifat dari Hukum
Bahwa tata tertib dalam masyarakat itu wajib terpelihara dengan baik maka dengan sewajarnya diharuskan kaedah – kaedah hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua orang yang mau menaati kaedah – kaedah hukum itu sendiri dan supaya peraturan hukum di dalam kemasyarakatan benar – benar dipatuhi dan ditaati sehingga hal tersebut menjadi Kaedah Hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur yang memaksa sebenarnya agar masyarakat mau menaati Kaedah Hukum tersebut. Dengan demikian pula, maka hukum itu memiliki sifat yang mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan – peraturan hidup kemasyarajatan yang dapat mekasa prang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau menaatinya. Jika tidak mengunakkan sifat yang mengatur dan memaksa makan kemasyarakatan akan menjadi sangat kacau balau, karena apa yang dilakukan tidak ada nya hukum yang harus ditaati.
Tujuan Hukum
Dengan demikian, maka hukum tersebut bertujuan supaya dapat menjamin adanya suatu kepastian hukum yang ada didalam masyarakat dan hukum tersebut mesti juga berendikan pada keadilan yakni asas-asas keadilan yang terdapat dimasyarakat tersebut.
Berkenaan dengan tujuan hukum, maka kita akan mengenal beberapa pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum yang diantaranya sebagai berikut:
- Tujuan Hukum menurut Prof. Subekti S.H
Didalam buku yang ditulis berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan” Prof Subekti S.H telah menyatakan bahwa hukum itu mengabdikan diri pada tujuan Negara yang terdapat didalam pokoknya adalah untuk mendatangkan sebuah kemakmuran dan mendatangkan kebahagiaan kepada rakyatnya.
Hukum, menurut Prof Subekti S.H telah mengatakan bahwa hukum itu untuk mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan sebuah kemakmuran dan kebahagiaan untuk rakyatnya.
- Tujuan Hukum menurut Prof. Mr Dr. LJ. Apeldoorn
Didalam bukunya “inleiding tot de studie van het nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur segala pergaulan hidup manusia dengan damai. Hukum menghendaki adanya perdamaian.
Perdamaian diantara manusia itu dipertahankan dalam hukum dengan melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan mengenai hukum manusia tertentu, kemerdekaan, keselamatan, harta benda, jiwa terhadap pihak yang ingin merugikannya.
- Tujuan hukum menurut teori Etis
Terdapat sebuah teori yang telah mengajarkan bahwa hukuman itu semata-mata untuk menginginkan keadilan. Teori-teori yang mengajarkan mengenai hal tersebut dikatakan sebagai teori etis, karena menurut teori ietis, isi hukum semata-mata mesti ditentukan oleh setiap kesadaran etis kita tentang apa yang adil dan apa yang tak adil.
Teori etis ini menrutu Prof. Van Apeldoorn sebagai berat sebelah, karena ia telah melebih-lebihkan kadar keadilan dari hukum, sebab ia tidak cukup untuk memperhatikan kondisi yang sebenarnya.
Tujuan Hukum Pajak Penghasilan
Dalam Undang – Undang Pajak Penghasilan, defisini penghasilan menurut UU PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah objek pajak. Pajak Penghasilan termasuk ke salah satu jenis pajak subjektif. Dengan adanya undang - undang ini dapat menambahkan penerimaan negara yang berasal dari pajak. Pajak menduduki posisi sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam penerimaan negara.
Sumber – Sumber Hukum
Pengertian Sumber Hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata, dan dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara. Istilah sumber hukum mengandung banyak pengerti. Sumber hukum dibagi menjadi 2 yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal.
- Sumber hukum material adalah segala kaidah, aturan, atau norma yang menjadi patokan atau sumber dari manusia untuk bersikap dan bertindak. Atau sumber hukum materi yaitu tempat dari manakah material itu diambil. Suatu keyakinan atau perasaan hukum dari individu dan juga pendapat umum yang dapat menentukan isi hukum. Dengan begitu keyakinan atau perasaan hukum individu dan pendapat umum yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.
- Sumber Hukum formal adalah dapat disebut juga sebagai penerapan dari hukum material, sehingga hukum formal dapat berjalan serta ditaati oleh semua objek hukum. Berikut ini macam-macam atau sumber-sumber dari hukum formal:
- Yang pertama yaitu Undang-undang, merupakan suatu peraturan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang dipelihara oleh penguasa Negara tersebut. Misalnya seperti: UU, PP, Perpu dan lain sebagainya.
- Yang kedua yaitu kebiasaan, merupakan perbuatan yang sama yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu hal yang selayaknya dilakukan. Seperti misalnya: adat-adat di daerah yang dilakukan secara turun-temurun yang sudah menjadi hukum di daerah tersebut.
- Yang ketiga yaitu Yurisprudensi, merupakan keputusan dari hakim pada masa lalu atau masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan oleh para hakim pada masa selanjutnya. Hakim sendiri bisa membuat keputusan sendiri, apabila perkara tersebut tidak diatur sama sekali di dalam UU.
- Yang keempat yaitu traktat, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh 2 (dua) negara atau lebih. Perjanjian tersebut mengikat antar negara yang terlibat dalam traktat ini. Secara otomatis traktat tersebut juga dapat mengikat warganegara dari Negara yang bersangkutan.
- Dan yang kelima yaitu doktrin, merupakan pendapat dari para ahli hukum terkemuka, yang dijadikan dasar ataupun asas-asas penting dalam hukum dan juga penerapannya.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Dasar Hukum Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi, maka dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21) adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
- Pegawai Tetap;
- Penerima pensiun berkala;
- Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp. 2.025.000,- (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
- Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp. 2.025.000,- (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada poin 1, 2, dan 3. Misalnya Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
a. Bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
Ketentuan menghitung penghasilan neto bagi pegawai tetap dan penerima pensiun untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut:
1. Besarnya penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
- Biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) setahun;
- Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp. 2.400.000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
b. Bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP. Berikut ketentuan yang menyangkut dasar pengenaan pajak untuk Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas:
1. Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp. 2.025.000,- (dua juta dua puluh lima ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
- Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah);
- Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
3. Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp. 2.025.000,- (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
4. PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
5. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
6. Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai Tidak Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
c. Bagi Bukan Pegawai sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan:
1. Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
- Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
- Melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.
2. Penerima penghasilan Bukan Pegawai dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
3. Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP, penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
Dalam hal menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang pribadi DN prinsipnya bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar Penghasilan bruto dikurang keseluruhan pengurang yang diijinkan oleh UU dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
- Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan.
- Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dengan menggunakan norma penghitungan dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
- Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan dengan pengurang yang diijinkan oleh UU.
- Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Peraturan Perundangan Negara Republik Indonesia
- Masa sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berdasarkan atau pada bersumber Undang – Undang Sementara 1950 dan Konstitusi RIS-1949, peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari:
a. Undang – Undang Dasar (UUD)
b. Undang – Undang (biasa) dan Undang – Undang Darurat
c. Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
d. Peraturan Pemerintah tingkat Daerah
- Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggaran kesejahteraan umum seluruh rakyat, Pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundangan. Semua peraturan perundangan yang dikeluarkan Pemerintah harus berdasarkan atau melaksakan Undang – Undang Dasar daripada Negara tersebut. Dengan demikian semua peraturan perundangan Republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan atau melaksanakan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
Adapun bentuk dana tata-urutan peraturan perundangan Republik Indonesia sekarang ini menurut ketetapan MPR No. V/MPR/1973 adalah sebagai berikut:
a. Undang – Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD-1945)
b. Ketetapan Majelin Permusyawaratan Rakyar (Ketetapan MPR)
c. Undang – Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang – Undang (PERPU)
d. Peraturan Pemerintah
e. Keputusan Pemerintah (KEPRES)
f. Peraturan – Peraturan pelaksaan lainnya
Subjek Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Subjek PPh meliputi:
- Orang pribadi
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
- Badan merupakan sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
- Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: tempat manajemen perusahaan, cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, gudang, dll.
Data diatas merupakan siapa saja yang termasuk kedalam Subjek Pajak Penghasilan (PPh), berikut ini yang tidak termasuk kedalam Subjek Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pasal 3 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan:
- Kantor perwakilan negara asing.
- Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat: bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menerima penghasilan lain di luar pekerjaannya tersebut.
- Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan KeputusanMenteri Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat: bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
Macam - Macam Pembagian Hukum
1. Pembagian Hukum Menurut Asas Pembagiannya
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala-galanya, namun dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut:
- Menurut sumbernya:
Hukum Undang – Undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan – peraturan perundangan.
- Hukum adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan – peraturan kebiasaan.
- Hukum traktaat, adalah hukum yang ditetapkan oleh negara – negara didalam sistem perjanjian antar negara
- Hukum jurispudensi adalah hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
2. Menurut bentuknya
- Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan
- Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan.
3. Menurut tempat berlakunya
- Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
- Hukum internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia internasional.
4. Menurut waktu berlakunya.
- Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
- Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
- Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.
5. Menurut cara mempertahankannya:
- Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
- Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan hukum material
6. Menurut sifatnya:
- Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan mutlak.
- Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
7. Menurut wujudnya:
- Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
- Hukum subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
8. Menurut isinya :
- Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
- Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.
2. Hukum sipil dan Hukum Publik
Menurut isinya hukum dibagi menjadi hukum Privat (Hukum Sipil) dan hukum Publik .
a. Hukum Privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikbratkan pada kepentingan perorangan. Dalam arti luas, Hukum Privat/Sipil ini meliputi hukum Perdata dan hukum Dagang. Sedangkan dalam arti sempit, hukum privat hanya terdiri dari hukum Perdata.
b. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat – alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan warganegaranya. Hukum Publik terdiri dari hukum Tata Negara, hukum Administrasi, hukum Pidana dan hukum Internasional.
Hukum Tata Negara yaitu mengatur bentuk dan susunan suatu negara serta hubungan kekuasaan anatara lat-alat perlengkapan negara satu sama lain dan hubungan pemerintah pusat dengan daerah (pemda)
Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara), yaitu mengatur cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat perlengkapan negara;
- Hukum Pidana, yaitu mengatur perbuatan yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa saja yang melanggar dan mengatur bagaimana cara mengajukan perkara ke muka pengadilan (pidana dilmaksud disini termasuk hukum acaranya juga). Paul Schlten dan Logemann menganggap hukum pidana bukan hukum publik.
- Hukum Internasional (Perdata dan Publik) Hukum perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu bangsa dengan warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional dan Hukum Publik Internasional, yaitu mengatur hubungan anatara negara yang satu dengan negara yang lain dalam hubungan Internasional.
2. Perbedaan Hukum Perdata (Sipil) dengan Hukum Pidana
Pada prinsipnya, terdapat tiga hal yang membedakan hukum perdata dengan hukum pidana itu sendiri. Ketiga perbedaan tersebut adalah isinya, pelaksanaannya, dana cara menafsikannya. Sedangkan dari segi isinya, hukum perdata itu mengatur mengenai hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikeratkan kepada kepentingan perseorangannya saja. Lalu jika dikaji dari segi pelaksanaannya, maka pada hukum perdata terhadap norma hukum perdata baru diambil dari tindakan pengadilan setelah adanya pengaduan dari pihak yang memilik kepentingan yaitu biasanya pihak yang merasa dirinya dirugikan oleh orang lain, lalu pihak yang dirugikan tersebut akan dijadikan saksi. Bila dipandang dari cara menafsirkannya, pada hukum perdata diperbolehkan untuk mengadakan berbagain macam nterprestasi terhadap Undang – Undang hukum perdata. Sedangkan pada hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam Undang – Undang yang terkandung tersebut. Singkatnya, hukum pidana hanya mengenal penafsiran dengan authentik.
Bahwa tindak pidana Pajak Penghasilan (PPh) dari tahun ke tahun dominan meningkat terlihat dari tindakan yang tegas dari para pemerintah atas pelanggaran sanksi yang diberikan langsung kedalam pelanggaran hukum.
Barang siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran Kaidah Hukum) yang berupa hukuman.
Hukuman atau pidana itu bermacam – macam jenisnya jika di Pajak Penghasilan terdapat sanksi perpajakan terkait pembukuan atau pencatatan.
1. Sanksi Administrasi
Apabila kewajiban tidak dipenuhi sehingga tidak dapar diketahui besarnya pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
- 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
- 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor
- 100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
2. Sanksi Pidana
- Setiap orang yang dengan sengaja:
- Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah – olah benar atau tidak menggambarkan keaadaan yang sebenarnya.
- Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihaktan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
- Tidak menyimpan buku, catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Perbedaan Acara Perdata (Hukum Acara Perdata) dengan Acara Pidana (Hukum Acara Pidana)
- Hukum Acara Perdata, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material. Hukum Acara Pidana, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana material.
Berikut penjelasan secara singkatnya, mengenai beberapa perbedaan dengan sebagai berikut :
1. Perbedaan Mengadili:
- Hukum Acara Perdata mengatur cara-cara mengadili perkara perdata di muka pengadilan perdata oleh Hakim perdata.
- Hukum Acara Pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh Hakim pidana.
2. Perbedaan Pelaksanaan:
- Pada Acara Perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan.
- Pada Acara Pidana ini inisiatifnya itu datang dari penuntut umum (Jaksa).
3. Perbedaan dalam Penuntutan:
- Dalam Acara Perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat. Jadi tidak terdapat penuntut umum atau Jaksa.
- Dalam Acara Pidana, Jaksa menjadi penuntut terhadap si tetdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum yang mewakili negara, berhadapan dengan si terdakwa. Jadi disini terdapat seorang Jaksa.
4. Perbedaan Alat-alat Bukti:
- Dalam Acara Perdata sumpah merupakan alat pembuktian (terdapat 5 alat bukti yaitu : tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah).
- Dalam Acara Pidana ada 4 alat bukti (kecuali sumpah).
5. Perbedaan Penarmbali Suatu Perkara.
- Dalam Acara Pidana, tidak dapat ditarik kembali.
6. Perbedaan Kedudukan para pihak:
- Dalam Acara Perdata, pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim bertindak hanya sebagai wasit, dan bersifat pasif.
- Dalam Acara Pidana, Jaksa kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa. Hakim juga turut aktif.
7. Perbedaan dalam dasar Keputusan Hakim:
- Dalam Acara Perdata, putusan Hakim itu cukup dengan mendasarkan diri kepada kebenaran formal saja (akta tertulis).
- Dalam Acara Pidana, putusan Hakim harus mencari kebenaran material (menurut keyakinan, perasaan keadilan hakim sendiri).
8. Perbedaan Macamnya Hukuman:
- Dalam Acara Perdata, tergugat yang terbukti kesalahannya maka akan di hukum denda, atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda.
- Dalam Acara Pidana, terdakwa yang terbukti kesalahannya maka di pidana mati, penjara, kurungan atau denda, mungkin ditambah dengan pidana tambahan seperti ; dicabut hal-hak tertentu dan lain-lain.
9. Perbedaan dalam Bandingan (pemeriksaan tingkat banding):
- Bandingan perkara Perdata dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Appel.
- Bandingan perkara Pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Revisi.
Referensi:
- Informasiana.com
- Bahan ajar.pdf
- Hukumsumberhukum.com
- C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 46.
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan